Minggu, 31 Januari 2010

Upaya Diri Sendiri Dalam Mengelola Rasa Kecewa

1. Pandai Mensyukuri Nikmat

Hidup ini adalah kenikmatan yang tiada, segala pemberian nikmat Allah SWT diberikan kepada kita dengan gratis. Nafas yang kita hirup, panca indra, akal pikiran, mampukah kita membayarnya? Bersikaplah jujur dan obyektif, pandang dan rasakan semua itu dengan hati dan pikiran yang jernih. Allah menganugerahi kita sebagai makhluk yang paling sempurna, mengapa kita harus kecewa? Semua itu kecil, tidak ada artinya bagi kehidupan kita, kenapa kita tidak ersyukur xaja?Bersyyukur itu gampang caranya, apapun yang ada di dunia dapat membuat hati bersyukur. Dalam kecewa pun ada kebahagiaan, kenapa? Karena hati kita tidak terbuka untuk rasa syukur, dengan begitu kita akan lebih hati-hati.

2. Percaya pada Takdir

Manusia menjalani rutinitas kehidupannya sesuai dengan takdirnya, setiap makhluk memiliki takdir sendiri-sndiri yang tidak dapat diubah. Hanya Allah yang dapat mengubah. Berbahagialah karena takdir itu rahasia Allah, kita bersyukur karena kita tidak tahu berapa besar rejeki kita. Takdir merupakan salah satu rukun iman dalam agama Islam. Umat Islam belum dikatakan beriman sebelum mengakui dan percaya adanya takdir. Percaya pada takdir sama artinya dengan percaya adanya Allah, karena Allahlah yang membuat ketentuan atas takdir hamba-hambaNYA. Keyakinan bahwa Tuhan yang mengatur semua ini membuat kita tumbuh rasa percaya diri. Kita memang tidak pernah tahu apa rencana Allah, tetapi lkita yakin bahwa Allah tak pernah menganiaya hambaNYA, karena itu tidak ada tempat untuk merasa kecewa.

3. Menyikapi Perubahan secara positif

Kehidupan ini akan selalu berubah, karena pada hakikatnya hidup adalah perubahan. Kita adalah bagian dari perubahan itu, karena kita adalah bagian dari kehidupan. Kita tidak bisa menolak perubahan, setuju atau tidak perubahan akan selalu terjadi. Setiap perubahan pasti membawa dampak baik dan buruk. Dengan berpedoman pada prinsip baik dan buruk kita akan selalu mendapatkan sisi positif dari perubahan. Kita harus memiliki keyakinan bahwa setiap perubahan pasti membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Kalau kita yakin bahwa perubahan itu terjadi atas kehendakNYA, maka langkah kita yang paling baik adalah berbaik sangka terhadap perubahan. Kalau kita berbaik sangka kepada Allah, maka Allah pun akan berbaik hati kepada kita. Sebaliknya jika kita berburuk sangka kepada Allah, Allah pun akan berbuat buruk kepada kita.

3. Tidak berangan-angan terlalu tinggi

Manusia memang membutuhkan harapan dalam hidupnya, karena itu ia memiliki cita-cita. Cita-cita membuat manusia bersemangat dalam hidupnya, karena itu sebuah cita-cita hrus realistis artinya disesuaikan dengan kemampuan yang kita miliki. Kita harus dapat mengukur diri kita sendiri sebelum memutuskan, menggantungkan cita-cita di langit. Sebab tak semua harapan kita pasti menjadi kenyataan. Hiduplah secara wajar dengan cita-cita yang wajar pula, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah. Tak heran kita sering mengalami kekecewaan, karena angan-angan tersebut tetap saja hanya angan-angan.cita-cita bukan satu-satunya sumber bahagia, tetapi sebaliknya cita-cita lebih dekat dengan rasa kecewa. Cita-cita itu diperlukan sekedar agar memiliki keberanian dan harapan akan masa depan, tetapi bukan satu-satunya cara menggapai masa depan.

5. Sering melihat ke bawah

Prang tua dulu memberi wejangan kepada anak cucunya agar dalam hidup ini selalu melihat ke bawah, artinya memperhatikan orang-orang yang hidupnya lebih menderita dari kita. Allah telah membri kita rejeki sehingga tidak sampai mengalami penderitaan seperti mereka. Banyak hikmah yang dapat kita petik dengan mengakrabi kaum Dhuafa tersebut. Orangnya sederhana dan tidak mau neko-neko.

6. Apa yang terjadi saat ini adalah yang terbaik

Adapun ungkapan yang berbunyi: urusan kita yang utama bukanlah melihat sesuatu yang samar-samar dari kejauhan, tetpai mengerjakan apa yang jelas berada di dalam genggaman tangan. Padahal belum tentu yang samara-samar itu akan menjadi miliknya,tetapi kebanyakan manusia merasa bahwa hal itu akan menjadi miliknya. Apa yang menurut kita buruk belum tentu buruk di mata Allah. Begitu pula sebaliknya. Mari kita tumbuhkan sikap mental bahwa apa yang terjadi saat ini adalah yang terbaik bagi kita. Kesedian hati kita untuk menerima apapun yang terjadi akan membawa kita kepada sikap pasrah dan tawakal. Manusia hanya mampu berusaha dan Allahlah yang menetukan. segalanya.

7. Mengambil hikmah dari suatu peristiwa

Mungkin kita semua pernah mengalami gejolak jiwa dan menuduh Allah tidak adil. Ketika kita ditimpa musibah kita menganggap Allah sudah tidak saying kepada kita. Allah tidak pernah menguji iman hambaNYA tanpa hikmah. Kita harus bersyukur menerima ujian dari Allah karena itu menandakan bahwa Allah masih memperhatikan kita. Allah menghukum kita supaya kelak kita di akhirat terbebas dari hukuman. Kalau kita ditimpa musibah, bukan berarti Allah tidak adil kepada kita. Allah adil, tetapi kita sendiri yang sering berlaku tidak adil kepada diri kita sendiri. Semua itu tergantung pada anggapan kita sendiri dalam memandang peristiwa yang menimpa diri kita bencana/ujian. Mudah-mudahan kita tidak salah memilih.

8. Menjauhkan penyakit-penyakit hati

Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Kesehatan tubuh sangat mempengaruhi kesehatan jiwa, begitu pula sebaliknya. Sebaliknya jiwa yang sakit akan membuka lebar-lebar pintu kesengsaraan. Di dalam diri manusia ada segumpal daging, itulah yang dinamakn hati. Hati adalah cermin, tempat segala pahala dan dosa bersatu, penyakit hati inilah suber mala petaka yang menimpa manusia. “Jagalah hati jangan kau kotori”.kalau hati kotor semua yang ada di dunia ini akan kotor. Artinya lingkungan besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa dan pikiran kita.

9. Ada keinginan kuat untuk selalu meredam rasa kecewa

Hidupini ditentukan oleh diri kita sendiri, bukan oleh orang lain. Nabi Muhammad SAW dan Mahatma Gandhi adalah dua manusia besar yang berhasil membentengi dirinya dari rasa kecewa. Nabi Muhammada SAW adalah manusia yang paling dapat mengendalikan nafsunya. Semua itu tergantung pada diri kita sendiri, bahkan Mahatma Gandhi memandang penderitaan sebagai kebahagiaan, karena itu ia selalu bisa tersenyum pada dunia. Kita harus punya keyakinan bahwa raa kecewa itu tidak akan pernah ada, kalau kita tidak pernah menghadirkannya di hati kita. Sekarang kita pilih, bahagia atau kecewa?

10. Kembalikan semuanya kepada Allah SWT

Puncak pengobatan yang paling mujur adalah mengembalikan semua itu pada Allah SWT. Inilah obat yang paling mujarab dan tidak ada duanya di dunia ini. Buat apa dibuat susah, buat apa dibuat kecewa? Apa yang harus dikecewakan, apa yang harus disusahkan? Toh semuanya sudah dikethaui oleh Allah SWT untuk kebahagiaan hambaNYA. Artinya marilah kita tumbuhkan satu keyakinan bahwa Allah menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia menjadi bahagia hidupnya. Allah yang menghidupkan danAllha pula ang memberikan kematian. Manusia tidak mungkin melepaskan diri dari hokum Allah. Marilah kita menghadirkan Allah di dalam hati baik dikala bahagia maupun dikala dirundung kecewa. Dengan mengingat Allah hati akan tenteram, karena itu kita harus selalu ingat akan keberadaan Allah SWT. Dan Allah SWT adalah pengawal yang kuat atas diri kita.

Dikutip dari “SEYMA MEDIA”

Pendamping Hidup

Di dunia ini seorang ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan) ditakdirkan tuk saling melengkapi. Seorang akwat diciptakan dari sebagian tulang rusuk laki-laki tersebut. Pernahkah kalian tahu, bahwa seorang ikhwan memilih jodohnya untuk dirinya sendiri dan seorang akhwat dipilih jodohnya untuk seorang ikhwan. Jodoh yang kita dapatkan pasti yang terbaik menurut Alloh SWT, tetapi terkadang menurut kita itu bukan hal terbaik. Namun, setiap manusia tidak semua dapat menilai calon jodohnya dengan baik, hanya bisa melihat dari yang kita ketahui (dari luarnya saja). Sedangkan jodoh yang dipilihkan oleh Alloh SWT pasti yang terbaik, karena Dia-lah yang Maha segalanya, mengetahui segalanya. Maka bersyukurlah dengan jodoh yang diberikan-Nya kepada kita. Suatu saat kita akan menyadarinya baik cepat maupun lambat, karena manusia itu tidaklah sempurna yang mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Dan waktu akan membuat kita untuk terus belajar tentang kehidupan dan menjadikan kita lebih dewasa dari sebelumnya. Ingatlah, bahwa manusia diberikan nafsu untuk berkeinginan, tetapi diberikan akal untuk berpikir. (Nia, 3 Februari 2009)

Aku Bersyukur...

Aku bersyukur...



Mendengar anggota keluargaku ngomel-ngomel dirumah,

berarti aku masih punya keluarga yang utuh



Merasa lelah dan pegal linu setiap sore,

sebab itu berarti aku mampu bekerja keras.



Membersihkan piring dan gelas kotor setelah

menerima tamu dirumah,

karena itu berarti aku dikelilingi teman-teman.



Pakaianku terasa agak sempit,

karena itu berarti bahwa makanku cukup kenyang.



Mencuci dan menyetrika tumpukan baju,

sebab itu berarti aku memiliki pakaian.



Membersihkan halaman rumah, membersihkan jendela,

memperbaiki talang dan got,

karena itu berarti aku memiliki tempat tinggal.



Duduk kembali di kantor, berarti masih ada perusahaan

yang mau memperkerjakan aku

bahkan perusahaan masih mampu membayar gaji setiap bulannya.



Mendengar nyanyian suara yang fals,

karena itu berarti aku bisa mendengar.



Mendengar bunyi jam alarm dipagi hari,

sebab itu berarti aku hidup.



Akhirnya...

aku perlu bersyukur mendapatkan e-mail ini, karena tidak sadar

aku masih memiliki teman yang peduli padaku.



Ohh... indahnya...

Rencana Tuhan Indah Pada Waktunya

Allahumma rabbannas… bimbing hambaMu ini untuk senantiasa mensyukuri nikmatMu dan sabar atas segala ujianMu…

—————————

“Rencana Tuhan Indah Pada Waktunya”

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang meyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya,apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang meyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet. Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut,

“Anakku,lanjutkanlah permainanmu,sementara ibu menyelesaikan sulaman ini, nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.”
Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu sembrawut menurut pandanganku.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil, “Anakku, mari ke sini, dan duduklah di pangkuan ibu.”

Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah,dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat
hanyalah benang-benang ruwet. Kemudian ibu berkata, “Anakku, dari bawah memang ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa dia atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola,ibu hanya mengikutinya.” “Sekarang, dengan melihatnya dari atas, kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan.”

Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada TUHAN, “apa yang Engkau lakukan?”
Ia menjawab, “Aku sedang menyulam kehidupanmu.” Dan aku membantah, “Tetapi nampaknya hidup ini ruwet,benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?
Kemudian TUHAN menjawab, “kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaan-Ku di bumi ini.
Suatu saat nanti Aku akan memanggilmu ke surga dan mendudukkan kamu dipangkuan-Ku,dan kamu akan melihat rencana-Ku yang indah dari sisi-Ku!”

SERING KALI KITA TIDAK MENGERTI APA YANG TUHAN INGINKAN DALAM HIDUP KITA..

TAPI PERCAYALAH BAHWA SEMUA YANG TELAH DIA IJINKAN TERJADI DALAM HIDUP
KITA ADALAH YANG TERBAIK UNTUK KITA. DAN SEMUA YANG DIA RENCANAKAN DI
DALAM HIDUP KITA SELALU TEPAT DAN INDAH PADA WAKTUNYA.

:- TAUSIYAH -:

Tujuh Indikator Kebahagiaan Dunia

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.

Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.

Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu :
“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.

Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.

Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.

Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.

Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.

Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.

Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.

Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.

Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.

Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.

Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.

Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.

Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin membaca doa `sapu jagat’ , yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw” (yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia “), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.

Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.

Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanaw” (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.

Kata Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.

Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).

------
Sumber tulisan: ceramah Ustad Aam Aminudin, Lc. di Sapporo, Jepang,
disarikan secara bebas oleh Sdr.
Asep Tata Permana

Belajar Menerima Takdir Yang Menimpa KIta

Kalimat ini adalah tausiyah dan pesan dari seorang sahabat ketika saya akan pergi mengikuti short course di Adelaide. Satu kalimat yang cukup sederhana, namun bisa menjadi penguat dan penyemangat di kala saya merasa tidak mampu dan lelah untuk berusaha. Kalau bicara tentang taqdir, seakan-akan kita tidak kuasa untuk mengubahnya. BENAR kita tidak kuasa mengubah TAQDIR kita, namun TIDAK BENAR kalau kita tidak mampu mengubah HIDUP kita dengan USAHA kita. Hal ini yang sering disalah maknai oleh kebanyakan orang.
—————————————–
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Terkadang kita sulit menerima takdir yang menimpa diri kita, apalagi jika takdir itu berupa kesulitan atau kegagalan… sesuatu yang tidak kita harapkan terjadi pada diri kita… sesuatu yang menurut pemahaman kita tidak baik buat kita. Pada saat itu, seringnya kita lupa…Allah Sang Pencipta takdir… Sang Pencipta kita… PASTI lebih tahu apa yang terbaik buat ciptaanNya. Kita lupa, Allah SWT telah berjanji …tidak akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…Laa yukalifuLLahu nafsan illa wus’aha….
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Ketika seseorang menerima takdir yang menimpa dirinya… menerima ketentuan Allah atas dirinya…ridho kepada qodho dan qodar Allah… ia akan ikhlas dan rela menerima apapun yang diputuskan Allah kepada dirinya tanpa syarat, dan menganggapnya sebagai sesuatu kebaikan atau cobaan yang perlu dihadapinya. Ridho merupakan buah dari cinta seorang mukmin kepada Allah. Seseorang yang mencintai seseorang akan menerima semua keinginan dan tuntutan dari yang dicintainya. Keinginan dan tuntutan Allah terdapat dalam Al Qur’an.
Kehendak Allah kepada kita merupakan kejadian yang telah berlangsung, tidak dapat dihindarkan, dan tidak diketahui sebelumnya. Semua kebaikan dan keburukan dari apa yang menimpa kita, semua dari sisi Allah.Tak ada seorangpun yang dapat menghindari dari rahmatNya dan kecelakaan yang ditimpakanNya kepada seseorang.
Setelah penciptaan fisik seorang manusia dalam rahim ibunya selama 120 hari, Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan menyampaikan 4 perkara: rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan akan menjadi sengsara atau bahagia.Rasulullah mengingatkan bahwa amal perbuatan seseorang selama hidupnya tidak menjamin keadaannya di akhir hidupnya. Semua tergantung pada kehendak Allah. Ada seseorang yang selama hidupnya senantiasa beramal baik dengan amalan penghuni surga, hingga jaraknya tinggal sehasta, namun takdir Allah mendahuluinya, lalu ia melakukan amalan penghuni neraka, hingga masuklah ia ke dalam neraka. Sebaliknya ada seseorang yang selama hidupnya senantiasa beramal dengan amalan neraka, hingga jaraknya tinggal sehasta, namun takdir Allah mendahuluinya, lalu ia melakukan amalan penghuni surga, hingga ia pun masuk ke dalamnya….(Hadits arbain ke-4, HR Bukhari Muslim)
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita ….
Takdir merupakan pertemuan antara ikhtiar atau usaha manusia dengan kehendak Allah. Hidup merupakan rangkaian usaha demi usaha, sambungan ikhtiar demi ikhtiar. Namun ujung dari usaha dan puncak ikhtiar tidak selalu berhubungan langsung dengan kesuksesan dan keberhasilan. Ada simpul lain yang menghubungkan dengan keberhasilan, yaitu kehendak Allah. Simpul yang tidak diketahui oleh manusia, yang gelap bagi kita semua… Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahuinya (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok … (QS. Luqman:34)
Pada setiap usaha yang kita lakukan, kita harus melakukan segala sesuatu dengan baik, profesional, tertib, dan penuh semangat. Pada wilayah yang gelap, usaha kita adalah: berdoa, berharap, dan bertawakal kepada Allah. Dalam setiap ikhtiar yang kita usahakan, harus kita tutup kalkulasi optimisme dengan kata ’semoga’ atau ’mudah-mudahan.’
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Bagi seorang mukmin, kata ’semoga’ atau ’mudah-mudahan’ bukan hanya masalah kebergantungan, tapi juga merupakan buah dari pemahamannya terhadap prinsip aqidah Islam … tempat menyandarkan seluruh pengharapan kita. Dari sinilah tumbuh energi tawakal, kepasrahan yang tidak berakhir dengan putus asa, namun pengharapan atas kehendak Allah yang baik atas dirinya dengan senantiasa memilih jalan yang layak, menata segala upayanya, lalu memohon kesuksesan kepada Allah.
Kata ’semoga’ atau ’mudah-mudahah’ membuat kita menjadi lebih bijak menyikapi takdir yang menimpa diri kita. Kita akan lebih bisa memaknai setiap takdir yang menimpa kita dengan: dibalik semua ini, pasti ada hikmahnya. Tidak larut dalam penyesalan yang mendalam… tidak larut dalam perasaan bersalah atas setiap keputusan yang diambilnya… tidak larut menyalahkan takdir… dibalik semua ini pasti ada hikmahnya.
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita …
Yakinlah bahwa setiap takdir Allah untuk kita selalu baik, apapun bentuk takdir itu. Takdir yang baik, tentu baik untuk kita. Takdir yang nampak tidak menguntungkan buat kita, ternyata ada kebaikan yang Allah ’paksakan’ untuk kita…yang tidak kita sadari saat itu.. Yakinlah bahwa Allah mengetahui yang terbaik untuk kita…
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Boleh jadi, takdir yang menimpa diri kita merupakan tangga untuk mencapai derajat yang lebih tinggi di sisi Allah. Allah akan senantiasa menguji seorang hambaNya hingga terlihat siapa yang paling berhak mendapatkan tempat yang terbaik di sisiNya. Ujian diberikan untuk memilih yang terbaik untuk mendapatkan tempat yang terbaik. Perlu stamina yang kuat dan persiapan yang baik untuk dapat menyelesaikan segala bentuk ujian.
Allah telah menyampaikan dalam QS Al Mulk: 2 bahwa Allah menciptakan kehidupan dan kematian sebagai ujian untuk melihat siapa yang terbaik amalannya. Dalam QS Al Insan: 2 juga disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia untuk diuji dengan segala perintah dan laranganNya. Namun, Allah tidak membiarkan begitu saja makhlukNya hidup tanpa bekal. Allah mengkaruniakan pendengaran dan penglihatan untuk digunakan manusia menjalani hidupnya… menemukan petunjukNya… menemukan jalan dan pemecahan atas segala permasalahan… menemukan kunci dan penerang untuk lolos dalam ujian hidupnya.
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Boleh jadi, takdir yang menimpa diri kita adalah buah dari pohon-pohon dosa kita. Dosa-dosa kecil yang kita abaikan dari mohon ampunanNya… yang kita semai dan kita tumbuh suburkan… akan menghasilkan buah yang akan kita petik hasilnya. Jika musibah datang beruntun, kegagalan terus menghantui kita, sudah saatnya kita berkaca dan mengoreksi diri. Kotoran atau coreng-moreng apa yang telah menodai perjalanan hidup kita? Dosa apa yang telah kita lakukan sehingga menghalangi kita mencapai kesuksesan? Setelah itu hapuslah kotoran dan coreng-moreng itu dengan taubat dan istighfar.
Ada korelasi yang kuat antara taubat dan istighfar dengan kemudahan hidup. Nabi Nuh as mengajarkan kepada kaumnya:…”Mohon ampunlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan pula di dalamnya sungai-sungai”… (QS. Nuh:10-12).
Ibnu Qoyyim menasihati:
…jika engkau dalam kenikmatan, peliharalah kenikmatan itu… sesungguhnya kemaksiatan bisa menghilangkan kenikmatan… dan ikatlah kenikmatan dengan taat kepada Tuhanmu, karena Tuhanmu Maha Cepat pembalasanNya…
Kenikmatan yang hilang dan berubah menjadi kegagalan merupakan ’buah karya’ kita sendiri. ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS Asy-syuro:30).
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Boleh jadi, takdir yang menimpa diri kita adalah cara terbaik untuk meringankan dosa di hari kiamat. Ketika Rasulullah Saw sakit menjelang wafatnya, beliau bersabda ”… Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu rasa sakit dengan duri atau apa saja, kecuali Allah menggugurkan dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.”(HR Bukhari). Di antara rahmat dan kasih sayang Allah SWT kepada mukmin adalah dikuranginya dosa mereka di dunia. Musibah, bencana, dan kegagalan yang menimpa, bagaikan air yang menyiram dan mematikan api dosa. Hingga bisa jadi orang yang dosanya banyak, setelah diuji dengan musibah dia tetap beriman, ia akan menghadap Allah kelak dengan beban dosa yang ringan atau tanpa dosa. Sehingga selipkanlah rasa syukur dan tumbuhkan kesabaran atas setiap takdir yang menimpa diri kita, terutama yang berupa musibah. Semoga musibah itu adalah cara Allah untuk meringankan dosa kita yang sudah menumpuk dalam catatan amal hidup kita selama hidup.
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Boleh jadi, takdir yang menimpa diri kita adalah harga wajib untuk mencapai kesuksesan lain. Ketika di awal usaha kita, kita tidak mendapatkan hasil yang kita inginkan, bahkan gagal mendapatkannya, bisa jadi Allah punya rencana bagi kita untuk memilih usaha lain yang akan mendatangkan hasil yang lebih baik. Kegagalan merupakan langkah untuk mencapai kesuksesan, jika kita terus berusaha dan berdoa. Ketika seorang wanita belum mendapatkan jodohnya karena berbagai hambatan, boleh jadi Allah telah menetapkan jodoh yang lebih baik untuk mendampinginya. Ketika seseorang terus ditolak ketika mencari lowongan pekerjaan, boleh jadi Allah telah memilihkan pekerjaan yang lebih baik untuk dia.
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Boleh jadi, takdir yang menimpa diri kita merupakan lampu kuning pengingat, agar kita lebih banyak berkaca diri. Mungkin sebelum musibah menimpa kita, kita sedang lupa dengan cermin tempat hati mengoreksi diri. Apakah ada goresan-goresan atau titik-titik yang mengotori hati kita. Musibah, kegagalan, kesulitan hidup bisa menjadi pengingat bahwa kita harus banyak berkaca diri, mengoreksi diri bahwa dosa kita sudah cukup mengkhawatirkan sehingga Allah memberi peringatan dan teguran kepada kita. Sebelum Allah melanjutkan dengan siksa dan azabNya, segeralah bertaubat.
Belajarlah menerima takdir yang menimpa diri kita…
Sebelum kita melangkah… sebelum kita menentukan pilihan, mohonlah petunjuk kepadaNya:
Ya Allah, aku mohon pilihanMu menurut pengetahuanMu
dan aku mohon dengan kekuasaanMu, dan aku mohon karuniaMu yang Agung
Ssesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Kuasa dan aku tidak berkuasa
Engkau Yang Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui,
dan Engkau Maha Mengetahui yang ghaib
Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusanku ini baik bagiku, di dalam agamaku dan hidupku, serta baik akibatnya bagiku (di masa sekarang atau masa yang akan datang), maka kuasakanlah dan mudahkanlah urusan ini untukku, kemudian berkahilah untukku; dan apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini tidak baik bagiku, di dalam agamaku dan hidupku, serta akibatnya bagiku (di masa sekarang dan masa yang akan datang), maka jauhkanlah urusan ini dariku dan jauhkanlah aku dari urusan ini, dan tentukanlah yang baik untukku di manapun aku berada, kemudian ridhoilah aku dengan kebaikan itu…
Wallahu ’alam bishshowab…al haqqu mirrobbikum falaa takunnana minal mumtarin… …Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu, maka janganlah kita ragu untuk menerimanya…
Jazakillah untuk Saudariku… Ardesia … atas tausiyahnya yang ’menghantui’ setiap langkahku … Aku mencintaimu karena Allah…

Yang Terlupa Dari Keikhlasan

Ikhlas, suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang singkat namun sangat besar maknanya. Sebuah kata yang seandainya seorang muslim terhilang darinya, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, baik kehidupan dunia terlebih lagi kehidupannya di akhirat kelak. Ya itulah dia, sebuah keikhlasan. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika amal tersebut dilakukan tidak ikhlas karena Allah.

Allah berfirman yang artinya,

“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Qs. Az Zumar: 2)

Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam)”

Apa Itu Ikhlas ?

Banyak para ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (dimana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan), di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Imam Al Maqdisi dalam kitab Umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain An-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghowi dalam kitab Masobihis Sunnah serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sesungguhnya makna dari ikhlas itu sendiri ?

Ukhti muslimah, yang dimaksud dengan keikhlasan adalah ketika engkau menjadikan niatmu dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, engkau melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena engkau ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena engkau tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila engkau melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka ketahuilah saudaraku, itu berarti engkau telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”

Dalam Hal Apa Aku Harus Ikhlas ?

Sebagian manusia menyangka bahwa yang namanya keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata seperti sholat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun ukhti muslimah, ketahuilah bahwa keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika engkau tersenyum terhadap saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau mengunjungi saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau meminjamkan saudarimu barang yang dia butuhkan, engkau pun harus ikhlas. Tidaklah engkau lakukan itu semua kecuali semata-mata karena Allah, engkau tersenyum kepada saudarimu bukan karena agar dia berbuat baik kepadamu, tidak pula engkau pinjamkan atau membantu saudarimu agar kelak suatu saat nanti ketika engkau membutuhkan sesuatu maka engkau pun akan dibantu olehnya atau tidak pula karena engkau takut dikatakan sebagai orang yang pelit. Tidak wahai saudariku, jadikanlah semua amal tersebut karena Allah.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana engkau ?” maka dia pun berkata “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?” orang itu pun menjawab: “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah, malaikat itu pun berkata “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim)

Perhatikanlah hadits ini wahai ukhti, tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Tidakkah engkau ingin dicintai oleh Allah wahai ukhti ?

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” (HR Bukhari Muslim)

Renungkanlah sabda beliau ini wahai ukhti, bahkan “hanya” dengan sesuap makanan yang seorang suami letakkan di mulut istrinya, apabila dilakukan ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberinya pahala. Bagaimana pula dengan pengabdianmu terhadap suamimu yang engkau lakukan ikhlas karena Allah ? bukankah itu semua akan mendapat ganjaran dan balasan pahala yang lebih besar? Sungguh merupakan suatu keberuntungan yang amat sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam seluruh gerak-gerik kita.

Berkahnya Sebuah Amal yang Kecil Karena Ikhlas

Ukhti muslimah yang semoga dicintai oleh Allah, sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal namun tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat.”

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata: Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin, Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR. Muslim)

Lihatlah ukhti, betapa kecilnya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya. Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim)

Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula apabila seandainya yang dia tolong adalah seorang muslim ? Dan sebaliknya, wahai ukhti, amal perbuatan yang besar nilainya, seandainya dilakukan tidak ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” maka Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karenanya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Daud dan Nasai). Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seseorang yang dia berjihad, suatu amalan yang sangat besar nilainya, namun dia tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.

Buah dari Ikhlas

Untuk mengakhiri pembahasan yang singkat ini, maka kami akan membawakan beberapa buah yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas. Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah berfirman tentang perkataan Iblis laknatullah alaihi yang artinya: Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (Qs. Shod: 82-83). Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah berfirman tentang Nabi Yusuf yang artinya “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. “ ( Qs. Yusuf : 24). Pada ayat ini Allah mengisahkan tentang penjagaan Allah terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Akan tetapi karena Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat. Oleh karena itu wahai ukhti, apabila kita sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam diri kita, maka introspeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini, semoga Allah menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Amin ya Rabbal alamin.

***