Rabu, 28 April 2010

Tiada Tuhan selain Allah


! Ali ‘Imraan [3]: 18

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu[1] (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.{18}

! An Naml [27]: 60 64

Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya?. Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).{60}

Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)-nya, dan men-jadikan suatu pemisah antara dua laut[2]?. Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.{61}

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi[3]?. Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Amat sedikitlah kamu mengingati-(Nya).{62}

Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula)-kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya[4]?. Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).{63}

Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi?. Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".{64}

! Al Hasyr [59]: 22

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.{22}

! Thaahaa [20]: 14

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka hambakanlah dirimu (ibadah) kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. {14}

Lihat juga: Al Baqarah[2]: 163, 255, Ali ‘Imraan [3]: 1-2, 6, 18, 62, An Nisaa' [4]: 87, Al Maaidah [5]: 73, Al An’aam [6]: 101-102, 106, Al A'raaf [7]: 59, 65, 73, 85, 140, 158, At Taubah [9]: 31, 129, Huud [11]: 14, 50, 61, 84, Ar Ra'd [13]: 30, Ibraahiim [14]: 52, An Nahl [16]: 2, Thaahaa [20]: 8, 98, Al Anbiyaa' [21]: 25, 87, Al Mu'minuun [23]: 23, 32, 91, 116, An Naml [27]: 26, Al Qashash [28]: 70-72, 88, Faathir [35]: 3, Ash Shaaffaat [37]: 35-36, Shaad [38]: 65, Az Zumar [39]: 6, Al Mu'min [40]: 3, 62, 65, Az Zukhruf [43]: 84, Ad Dukhaan [44]: 8, Muhammad [47]: 19, Al Hasyr [59]: 23, At Taghaabun [64]: 13, Al Muzzammil [73]: 9, Al Ikhlaash [112]: 1-4.



[1]) Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.

[2]) “Dua laut” di sini ialah laut yang asin dan sungai besar bermuara ke laut. Sungai yang tawar itu setelah sampai di muara tidak langsung menjadi asin.

[3]) “Menjadikan manusia sebagai khalifah” ialah menjadikannya berkuasa di bumi.

[4]) “Rahmat Tuhan” di sini: hujan yang menyebabkan suburnya tumbuh-tumbuhan.

Sumber : http://simaq.yolasite.com/01-allah-01-01-01.php

Kamis, 22 April 2010

Dahsyatnya Sakaratul Maut

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 18/V/VIII/1431


Allah subhanahu wata’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar para hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezhaliman bersegera meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah subhanahu wata’ala.

Sementara hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.

Namun, berbagai peringatan dan pelajaran, baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.

Allah subhanahu wata’ala berfiman (yang artinya):

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ

“Tidaklah berita itu seperti melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umarradhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah no. 135)

Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah subhanahu wata’ala tentukan, dengan sebab yang Allah subhanahu wata’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali para hamba-Nya yang Allah subhanahu wata’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ إِلَهَ إِلاَ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ

“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)

Allah subhanahu wata’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya (yang artinya):

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah )? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan.’ Hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya.

‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang ia rasakan karena sakaratul maut itu.

‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka (para malaikat).’ Maka Allah subhanahu wata’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, mengapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)

Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, ia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim)

Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.

Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ

“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398 (2/64), dan Ibnu Majah no. 4023, dan yang selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 143)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

فَلاَ أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ ِلأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .” (HR. Al-Bukhari no. 4446)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan bahwa bila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul ‘alaihimussalam, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya? Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)

Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian, serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:

1. Agar manusia mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan ia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, ia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal ia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut -padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah subhanahu wata’ala, dan Allah subhanahu wata’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya- hal itu akan menunjukkan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi -selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad-, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ

“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1668)

Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah melanjutkan:

2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah subhanahu wata’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah subhanahu wata’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ

“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”

Maka jawabannya adalah:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً فِي الدُّنْيَا اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ

“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.” (Lihat Ash-Shahihah no. 143)

Maka Allah subhanahu wata’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allahsubhanahu wata’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh

Allah subhanahu wata’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)

Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari hafizahullah berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah subhanahu wata’ala beri tugas untuk mencabut arwah para hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah subhanahu wata’ala, juga tidak ada di dalam Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu’.” (As-Sajdah: 11)

Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)

Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah subhanahu wata’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)

Wallahu a’lam bish showab.

Penulis: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=807

Merasakan Manisnya Iman

ولهما عنه ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « ثلاث من كن فيه وجد بهن حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه الله منه ، كما يكره أن يقذف في النار » .

وفي رواية : « لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى يحب المرء لا يحبه إلا لله » إلى آخره .

“Dan dalam riwayat keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) dari Anas, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ada tiga perangai atau sifat yang jika ada pada diri seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) Mencintai seseorang, yang dia tidak mencintai orang tersebut kecuali karena Allah, (3) Membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.”

Dan dalam riwayat yang lain disebutkan dengan lafazh: “Tidaklah seseorang mendapatkan manisnya iman sampai dia mencintai seseorang, dan tidaklah kecintaannya itu kecuali karena Allah …” -sampai akhir hadits-.

Penjelasan hadits

Tidak semua orang yang beriman akan merasakan kelezatan imannya. Sebagaimana seseorang yang memiliki makanan, belum tentu dia bisa merasakan lezatnya makanan itu. Iman yang dimiliki seseorang akan bisa dirasakan lezatnya oleh orang tadi sehingga iman itu akan bisa menyenakan hati dia, dan dia bisa merasakannya nikmatnya ketaatan, meskipun kelihatannya lelah dan habis waktunya untuk melakukan ibadah.

Manisnya iman adalah sesuatu yang didapati oleh manusia dalam hatinya berupa ketenangan dan kelapangan dada, dia merasa senang dengan iman tersebut dan tidak merasa terbebani.

Dan rasa manis (حَلاَوَة) di sini bukanlah sesuatu yang bisa dirasakan oleh lisan ini. Akan tetapi yang dimaksud halawah ini adalah halawah qalbiyyah. Jika seseorang ingin mendapatkan halawah iman ini, maka dia harus mempunyai tiga sifat/perangai sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut.

Yang Pertama

Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada selain keduanya. Ini adalah perkara yang berat kecuali bagi orang yang mau bersungguh-sungguh untuk mengorbankan dirinya demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Seseorang yang mencintai istri ataupun orang tuanya, ketika dihadapkan pada kepentingan Allah dan Rasul-Nya, maka dia harus mendahulukan kepentingan Allah dan Rasul-Nya tersebut, ini membutuhkan mujahadah (kesungguhan).

Dan di antara tanda seseorang mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah dia mencintai segala sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan dia membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, dia mengutamakan keridhaan Allah daripada selain-Nya, dia juga mengikuti jejak Rasul-Nya, melaksanakan perintah beliau dan menjauhi larangannya.

Taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala, sebagaiman disebutkan dalam ayatul mihnah:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ.

“Katakanlah wahai Muhammad, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)

Yang Kedua

Mencintai seseorang, dan tidaklah dia mencintai orang tersebut kecuali karena Allah, bukan karena kepentingan duniawi. Mencintai seseorang karena dia adalah orang yang taat kepada Allah, atau karena dia adalah orang yang beriman, meskipun orang yang dicintai tadi adalah orang yang fakir.

Mencintai seseorang banyak sebabnya, mungkin karena kekerabatan, teman, atau karena ingin mendapatkan kepentingan duniawi. Barang siapa yang mencintai sesorang karena Allah, maka ini akan menjadi sebab untuk bisa merasakan manisnya iman. Sehingga kita hendaknya bisa mengoreksi diri kita, apakah kecintaan kita kepada orang lain itu disebabkan karena Allah atau karena adanya kepentingan lainnya.

Yang Ketiga

Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.

Kebencian kembali kepada kekufuran disamakan dengan kebencian untuk dilemparkan ke dalam api neraka. Ini menunjukkan sangat bencinya dia kepada kekufuran dan tentunya benci pula kepada pelaku kekufuran. Orang yang merasakan kenikmatan dan manisnya iman tidak akan senang kembali kepada kekufuran setelah dia mendapatkan hidayah.

Inilah tiga sifat/perangai yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, barang siapa yang tiga sifat tersebut ada pada diri seseorang, maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Dan ini dipahami bahwa seseorang tidak akan bisa merasakan manisnya iman kecuali dengan adanya tiga sifat ini. Sebagaimana dalam hadits yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah setelahnya yaitu

لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى يحب المرء لا يحبه إلا لله.

“Tidaklah seseorang mendapatkan manisnya iman sampai dia mencintai seseorang, dan tidaklah kecintaannya itu kecuali karena Allah.”

Faedah yang bisa dipetik dari hadits ini, di antaranya[1]:

1. Menetapkan adanya manisnya iman yang bisa dirasakan, dan setiap mukmin belum bisa merasakan manisnya iman sampai dia memiliki tiga sifat tersebut.

2. Keutamaan dan kewajiban mendahulukan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya daripada kecintaan kepada selain keduanya.

3. Mencintai seseorang karena Allah merupakan tanda keimanan.

4. Wajibnya membenci kekufuran dan juga sekaligus orang kafir, karena orang yang membenci sesuatu, maka dia juga harus membenci orang yang melakukan sesuatu tersebut.

5. Barangsiapa yang memiliki tiga sifat ini, maka dia lebih utama dari orang yang tidak memilikinya, walaupun orang yang memilikinya ini dulunya kafir yang kemudian masuk Islam, atau dulunya bergelimang dengan kemaksiatan kemudian bertaubat darinya. Ini lebih utama daripada yang tidak memiliki tiga sifat tersebut sama sekali.


[1] Dinukil dari kitab Al-Jadid Fi Syarhi Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil ‘Aziz Al-Qar’awi rahimahullah dan kitab Al-Mulakhkhash Fi Syarhi Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah.