Jumat, 22 Januari 2010

Dilarang Menyetubuhi Isteri Di Bagian Dubur Atau Anus

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq



Dalil-dalil mengenai hal itu sangatlah banyak, di antaranya.

[a]. Apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan: “Ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah kepada kaum Anshar, maka mereka menikahi wanita-wanita Anshar. Kaum Muhajirin (para wanitanya) berposisi 'telungkup' (ketika bercampur), sedangkan para wanita Anshar tidak melakukannya. Ketika seorang Muhajirin hendak menginginkan isterinya berposisi demikian, ia menolaknya hingga bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ia datang kepada beliau, tetapi malu untuk menanyakannya, maka Ummu Salamahlah yang bertanya kepada beliau, kemudian turunlah ayat.

“Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…” [Al-Baqarah : 223]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.

Artinya :
"Tidak dilarang, kecuali pada satu jalur (yaitu dubur)." [1]

[b]. Apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: ‘Umar bin al-Khaththab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, aku binasa.’ Beliau bertanya: ‘Apa yang membinasakanmu?’ Ia menjawab: ‘Aku mencampuri isteriku dari arah belakangnya, tetapi tidak ada wahyu mengenainya.’ Maka Allah mewahyukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ayat ini.

"Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…’ [Al-Baqarah : 223]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Artinya :
‘Lakukan lewat depan dan belakang, serta jauhilah dubur dan (isteri) yang sedang haidh.’" [2]

[c]. Apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Artinya :
"Allah tidak (akan) memandang kepada seorang pria yang bercampur dengan pria lainnya atau (bercampur dengan) wanita pada duburnya.’ [3]

[d]. Apa yang diriwayatkan Imam asy-Syafi’i dari Khuzaimah bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mencampuri wanita (isteri) di bagian belakangnya, atau seorang pria mencampuri isterinya di bagian belakang? Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Boleh." Ketika orang itu pergi, beliau memanggilnya, atau beliau memerintahkan supaya memanggilnya, lalu beliau bertanya: "Bagaimana pertanyaanmu? Di dua lubang? -atau di lubang yang mana dari kedua lubang itu- apakah dari belakangnya (namun tetap) pada kemaluannya, maka ini dibolehkan, ataukah dari belakangnya pada lubang anusnya, maka ini dilarang. Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Janganlah kalian mencampuri wanita pada duburnya."[4]

[e]. Apa yang diriwayatkan oleh Ash-habus Sunan, kecuali an-Nasa'i, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Artinya :
"Barangsiapa yang mencampuri wanita (isteri) yang sedang haidh atau (mencampuri) wanita pada duburnya, atau (mendatangi) dukun, lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir kepada apa (wahyu) yang diturunkan pada Muhammad."[5]

[f.] Apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: "Apabila ia menyetubuhi isterinya pada duburnya, dan mentaatinya (setelah dilarang,-ed.), maka keduanya diberi sanksi ta’zir, jika keduanya tidak berhenti (bahkan tetap meneruskan), maka keduanya diceraikan, sebagaimana dipisahkan antara pria yang nista dengan wanita yang dinistainya, wallaahu a’lam." [6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya: “Hukuman apakah yang harus ditimpakan kepada orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya? Apakah ada seorang ulama yang membolehkannya (menyetubuhi pada dubur,-ed)?”

Jawaban: Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin. Menyetubuhi pada dubur (lubang anus) adalah haram menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, demikian pula pendapat para imam kaum muslimin dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan selain mereka. Disebutkan dalam hadits shahih bahwa kaum Yahudi pernah mengatakan: "Jika seseorang menyetubuhi isterinya pada kemaluannya lewat belakangnya, maka anaknya akan bermata juling." Mendengar hal itu kaum muslimin bertanya tentang perkara tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu turunlah ayat.

"Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…” [Al-Baqarah : 223]

Arti al-harts (di dalam ayat di atas) adalah tempat menanam, dan anak hanyalah ditanam pada kemaluan, bukan pada dubur.

“Maka datangailah tanah tempat bercocok tanammu,” yaitu tempat anak ditanam dan dilahirkan. “Bagaimana saja kamu kehendaki,” yakni dari mana saja; dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kirinya. Allah Ta’ala telah menamakan wanita dengan al-harts (tempat bercocok tanam), karena yang diberi keringanan hanyalah mendatangi tempat-tempat bercocok tanam, dan tempat bercocok tanam hanyalah di kemaluan.

Disebutkan dalam beberapa atsar bahwa menyetubuhi pada dubur adalah luuthiyah shughraa (homoseksual kecil). Diriwayatkan secara sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

Artinya :
"Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, janganlah kalian mendatangi wanita (isteri) pada selain kemaluannya."

Lalu bagaimana halnya dengan tempat yang di dalamnya terdapat najis berat?

Di samping itu, ini juga termasuk jenis liwath (homoseksual). Abu Hanifah, para sahabat asy-Syafi’i, Ahmad dan para sahabatnya berpendapat bahwa semua itu haram, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka. (Pendapat) ini adalah pendapat yang populer dari madzhab Malik dan sahabatnya. Tetapi sebagian orang menceritakan dari mereka sebuah riwayat lain yang berbeda dengan itu. Di antara mereka ada yang mengingkari riwayat ini dan meragukannya.

Barangsiapa yang mencampuri isterinya pada duburnya, ia wajib dihukum atas perbuatannya itu dengan sanksi yang membuat keduanya jera. Jika diketahui bahwa keduanya tidak jera, maka keduanya harus dipisahkan, wallaahu a’lam. [7]

[g]. Ibnu Qudamah rahimahullah ditanya: “Jika suami melakukan perbuatan yang dilarang dan dia mencampuri isterinya pada duburnya karena kebodohan mengenai hukum ini, maka apakah ada hadd (hukuman yang ada ketentuannya dalam syari’at) untuk itu?”

Jawaban: Jika dia mencampuri isterinya pada duburnya, maka tidak ada hadd atasnya; karena dalam perbuatan yang dilakukannya terkandung syubhat, tapi dia diberi sanksi ta’zir (hukuman yang ketentuannya tidak diatur dalam syari’at, namun diserahkan kepada hakim untuk berijtihad, dengan catatan tidak mencapai pada tingkatan hukuman hadd-pent.) karena perbuatan haram yang dilakukannya. Wanita diwajibkan mandi, karena masuknya kemaluan ke dalam lubang (dubur). Hukumnya sama dengan hukum menyetubuhi kemaluan dalam hal membatalkan berbagai peribadahan. Jika persetubuhan tersebut dilakukan terhadap wanita asing (bukan isterinya), maka wajib dikenakan sanksi yang diberlakukan untuk pelaku sodomi atau homoseks.[8]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note
[1]. HR. At-Tirmidzi (no. 2979) kitab Tafsiir al-Qur-aan, Ahmad (no. 26061), Abu Dawud (no. 1119) kitab an-Nikaah, ‘Abdurrazzaq (VII/195). Syaikh al-Albani berkata dalam Aadabuz Zifaaf (hal. 103): "Sanad hadits ini shahih, sesuai syarat Muslim."
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 2980) kitab Tafsiir al-Qur-aan, dan ia berkata: “Hadits hasan.” Ahmad (no. 2698).
[3]. HR. At-Tirmidzi (no. 1166) kitab ar-Radha', Ibnu Hibban (no. 1302), dan dishahihkan al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 930) dan al-Misykah (no. 3195).
[4]. HR. Asy-Syafi'i dalam al-Umm (V/256). Syaikh al-Albani berkata dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 104): "Sanad hadits ini shahih, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Muthalliq dalam al-Khulaashah. Sanad hadits ini juga disebutkan oleh an-Nasa-i dalam al-'Isyrah (II/76-77/2), ath-Thahawi, al-Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir, yang salah satu dari keduanya adalah jayyid, sebagaimana dikatakan oleh al-Mundziri (III/ 200). Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 1199), Ibnu Hazm (X/70), dan keduanya disetujui oleh al-Hafizh dalam al-Fath (VIII/ 154)."
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 135) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 3904) kitab ath-Thibb, Ibnu Majah (no. 639) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 9035), ad-Darimi (no. 1136) kitab ath-Thahaarah. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 522), al-Irwaa' (no. 2006), dan al-Misykaah (no. 551). Syaikh al-Albani berkata dalam kitab Aadaabuz Zifaaf (hal. 105): "Sanadnya shahih, sebagaimana yang telah aku jelaskan dalam Naqdut Taaj" (no. 64), dan diriwayatkan oleh an-Nasa-i (LXXVII/2), Ibnu Baththah di dalam al-Ibaanah, (VI/56/2) dari Thawus, ia berkata: "Ibnu 'Abbas pernah ditanya tentang seseorang yang menggauli isterinya pada dubur, lalu ia men-jawab: 'Orang ini bertanya kepadamu tentang masalah kekufuran.' Sanadnya adalah shahih. Adz-Dzahabi berkata di dalam Siyaar 'Alaamin Nubalaa' (IX/ 171/1): Kami telah yakin melalui beberapa jalan, bahwa Nabi telah melarang dubur-dubur para wanita dan kami tegaskan tentang keharamannya dan aku memiliki kitab khusus tentangnya. Telah banyak para ulama yang menjelaskan masalah tersebut, seperti Imam Ishaq bin Rahawaih, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’, al-Mundziri, Ibnul Mulqin, Ibnu Daqiq al-'Ied, Ibnu Hajar dan yang lainnya. Lihat kitab al-Irwaa' (VII/65/70), dengan sedikit per-ubahan.
[6]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/266-268).
[7]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/266, 267, 268).
[8]. Al-Mughnii bisy Syarhil Kabiir (VIII/132).


Sumber : http://www.almanhaj.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar